BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti kita ketahui, pada prinsipnya Al-Qur’an merupakan norma-norma dasar. Oleh karena itu, dalam menentukan hukuman, Al-Qur’an memberikan pola dasar yang umum. Karena bukan merupakan kitab hukum, AL-Qur’an tidak merinci bentuk-bentuk perilaku kejahatan serta rincian hukumannya.
Pemberian pola dasar yng bersifat umum tersebut memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat tersebut. Masyarakat diberi kesempatan mengurus kepentingannya untuk menciptakan dan mengadakan hukuman yang sesuai dengan kepentingan masing-masing. Namun demikian, syari’at dalam hal ini menentukan beberapa jenis perbuatan tertentu yang dianggap sebagai kejahatan.
Jenis-jenis kejahatan yang telah ditentukan syari’at berikut hukumannya itu pada prinsipnya adalah apa yang dikehendaki syari’at dalam pemeliharaan dan keharusan keberadaannya yang sifatnya sangat urgen. Kelonggaran Dalam keberadaan jenis-jenis kejahatan tersebut berakibat sangat fatal bagi kehidupan kemanusiaan. Hal-hal yang sangat dharury itu ditujukan untuk pemeliharaan terhadap jiwa, akal pikiran, agama harta, dan keturunan. Semua jenis kejahatan yang telah ditentukan mencerminkan tujuan-tujuan dan konsistensi syari’at dalam mewujudkan kelestarian lima hal tersebut.
Adapun selebihnya, yang merupakan bagian terbesar dari jumlah tindak pidana dan hukuman, diserahkan kepada ulul amri dalam menentukan jenis pelanggaran maupun bentuk hukumannnya. Kepercayaan yang diberikan pembuat syari’at dalam menentukan bentuk pelanggaran dan macam hukum tersebut ditujukan agar penguasa dapat secara leluasa mengatur masyarakatnya.
Bagian yang tidak ditentukan jenis pelanggarannya dan juga jenis hukumannya, dalam terminologi fiqh disebut dengan ta’zir. Suatu jenis jarimah dan sanksi hukuman yang menjadi wewenang ulil amri dalam pengaturannya. Didalam makalah ini akan dibahas jarimah ta’zir atau pengajaran dari pengertian macam-macam jarimah ta’zir dan hukuman bagi pelaku yang melanggarnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Jarimah Ta’zir?
2. Bagaimana Pembagian Jarimah Ta’zir?
3. Apa Prinsip Dan Tujuan Dari Jarimah Ta’zir?
4. Apa Sanksi Dan Hukuman Dari Jarimah Ta’zir?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Tentang Pengertian Jarrimah Ta’zir
2. Untuk Mengetahui Tentang Pembagian Ta’zir
3. Untuk Mengetahui Tentang Prinsip Dan Tujuan Ta’zir
4. Untuk Mengetahui Tentang Sanksi Dan Hukuman Dari Jarimah Ta’zir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’zir
Secara Etimologis Ta’zir merupakan mashdar dari (عَزَّرَ – يُعَزِّرُ) yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti (نَصَرَهُ) yakni menolong atau menguatkannya. Adapun pengertian Ta’zir secara Terminologis adalah hukuman pelajaran atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syar’i, seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci maki pihak lain, tetapi bukan menuduh (orang lain berbuat zina).
Ta’zir memang bukan termasuk dalam kategori hukuman hudud. Namun, bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat dimungkinkan diantara sekian banyak jenis dan bentuk ta’zir berupa hukuman mati.
Dengan demikian, ta’zir adalah sebuah sanksi hukum yang diberlakukan kepada seorang pelaku jarimah atau tindak pidana yang melakukan pelanggaran-pelanggaran, baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia dan pelanggaran-pelanggaran dimaksud tidak masuk dalam kategori hukuman hudud dan kafarat. Oleh karena hukuman ta’zir tidak ditentukan secara langsung oleh Al-qur’an dan hadis maka jenis hukuman ini menjadi kompetensi hakim atau penguasa tempat.
Menurut Imam Hanafi Ta’zir adalah hukuman atau sangi yang bertujuan memberikan pengajaran kepada pelaku kejahatan agar tidak mengulangi lagi.[1]
Sementara para fuqoha’ mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh al-Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada pelaku kejahatan dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa.
Menurut Beberapa definisi yang telah disebutkan diatas dapat kami simpulkan bahwa Ta’zir adalah Bentuk hukuman yang tidak ditentukan oleh syara’ akan tetapi dalam hal hukuman tersebut diserahkan kepada hakim atau ulil amri.
Ta’zir tidak disebutkan secara tegas didalam Al-qur’an dan hadis-hadis-hadis Rasulullah. Maka, untuk menentukan jenis dan ukurannya menjadi wewenang hakim atau penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta’zir, harus tetap memperhatikan isyarat-isyarat dan petunjuk nash keagamaan secara teliti, baik, mendalam, karena hal ini menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum atau masyarakat dalam sebuah negara.[2]
Dengan demikian ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas,artinya hukuman tersebut belum ditentukan oleh syara’ dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.
2. Penetapan hukuman tersebut adalah hak hakim.
B. Pembagian Ta’zir
Imam muhammad Abu Zahrah membagi hukuman ta’zir menjadi dua bagian, pembagian ini ditinjau dari segi hak yang dilanggar oleh pelaku, yaitu hukuman ta’zir yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah, dan hukuman ta’zir yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak manusia. Ia mnjelaskan bahwa sanksi-sanksi takzir sama dengan sanksi-sanksi yang telah ditentukan (qishas/hudud), sebagian merupakan hak Allah dan sebagian merupakan hak manusia.
Beberapa contoh pelanggaran yang berkaitan dengan Hak Allah dan pelakunya harus dihukum Ta’zir, seperti perbuatan dan ajaran-ajaran bid’ah yang merusak dan mengacaukan kebenaran agama islam, mencaci Nabi Muhammad dan melecehkannya, penculikan dan perdagangan bayi dan wanita untuk dipekerjakan menjadi PSK (pekerja seks komersial), produsen dan pengedar khamar /narkoba, manipulasi, dan penipuan-penipuan dalam berbisnis, ghasab, risywah, memakan riba, dan kesaksian palsu.
Sedangkan contoh pelangggaran yang berkaitan dengan hak manusia seperti, dalam kasus pembunuhan syibhu’ amdin (sengaja). Dalam hal ini, disamping adanya kewajiban pemberian diyat oleh pelaku kepada keluarga korban, masih terdapat satu sanksi hukum berupa ta’zir untuk memelihara hak manusia, Demikian pula dalam masalah penganiayaan yang tidak mungkin dihukum qisas, juga berlaku hukum ta’zir. Mencium dan melakukan adegan yang tidak senonoh dengan seorang wanita yang bukan istrinya, mencuri barang berharga tetapi tidak mencapai nisab syar’i , berkhianat terhadap amanat, mencaci dan menyakiti bukan dengan lafal qadzaf.[3]
C. Prinsip Dan Tujuan Ta’zir
a. Prinsip Penjatuhan Hukuman
prinsip penjatuhan ta’zir, terutama yang berkaitan dengan ta’zir yang menjadi wewenang penuh ulil amri, artinya baik bentuk maupun jenis hukumannya merupakan hak penguasa, ditujukan untuk menghilangkan sifat-sifat mengganggu ketertiban atau kepentingan umum, yang bermuara pada kemaslahatan umum.
Ketertiban umum atau kepentingan umum sebagaimana kita ketahui sifatnya labil dan berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan. Kepentingan hari ini mungkin lain dengan hari esok, demikian pula kemaslahatan di suatu ttempat lain dengan tempat yang berbeda. Oleh karena itu, seandainya suatu saat “kepentingan” tersebut suddah tidak penting lagi, atau sudah tidak maslahat lagi, peraturannya harus diganti. Itu berarti sesuatu yang dianggap jarimah pada suatu waktu atau suatu tempat, dianggap bukan jarimah pada waktu yang lain, kalu kriteria kemaslahatan atau kepentingannya sudah tidak tampak lagi.
b. Tujuan Penjatuhan Ta’zir
Hukuman ta’zir dilihat dari segi penjatuhannya terbagi alam beberapa tujuan, yaitu:
1) Hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan atau pelengkap hukuman pokok.
2) Hukuman ta’zir sebagai hukuman pengganti hukuman pokok.
3) Hukuman ta’zir sebagai hukuman pokok bagi jarimah ta’zir syara’.[4]
D. Sanksi Dan Hukumannya
Dalam uraian yang lalu telah dikemukakan bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri untuk menetapkannya. Hukuman ta’zir ini jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada 4 kelompok, yaitu sebagai berikut:
1. Hukuman Ta’zir Yang Berkaitan Dengan Badan
a. Hukuman Mati
Hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qishas untuk pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhson dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang dan menghina nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk islam.
Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah ta’zir tertentu, seperti spionese dan melakukan kerusakan dimuka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, Seperti Imam ibn Uqail. Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran al-qur’an dan assunah. Hukuman mati bisa diterpkan kepada pelaku homoseksual (liwath), peminum khamar untuk ke empat kalinya.
Hukuman mati untuk jarimah ta’zir, hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1) Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-hukaman hudud selain hukum mati.
2) Harus dipertimbangkan betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar dimuka bumi.
Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian dengan menggunakan pedang lebih cepat.
b. Hukuman Jilid (Dera)
Hukuman jilid merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir. Dalam jarimah ta’zir , hukuman ini sebenarnya juga ditunjuk Al-qur’an untuk mengatasi masalah kejahatan atau pelanggaran yang tidak ada sanksinya. Walaupun bentuk hukuman jilid yang tercantum dalam surat An-Nisa’ :34 ditujukan pada tujuan ta’dib bagi istri yang melakukan nusyuz kepada suaminya.
alat yang digunakan untuk hukuman jilid yaitu cambuk yang sedang (tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat. Hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi sampai membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya. Oleh karena itu, pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan kebagian punggung.
2. Hukuman Yang Berkaitan Dengan Kemerdekaan
a. Hukuman Penjara
Hukuman penjara dalam syari’at islam dibagi menjadi dua bagian:
1) Hukuman penjara yang dibatasi waktunya.
Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci ramadan dengan berbuka pada siang hari tanpa uzur, mengairi ladang dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, dan saksi palsu.
Adapun lamanya hukuman penjara ini tidak ada batas yang pasti untuk dijadikan pedoman umum, dan hal tersebutt diserahkan kepada ijtihad hakim dengan memperhatikan perbedaan kondisi jarimah, pelaku, tempat, waktu, dan situasi ketika jarimah itu terjadi.
2) Hukuman Penjara Yang Tidak Dibatasi Waktunya.
Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum mati, atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman penjara seumur hidup.
Hukuman penjara seumur hidup dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya, misalnya seorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga, atau seperti orang yang mengikat orang lain, kemudian melemparkannya ke depan seekor harimau. Menurut Imam Abu Yusuf, apabila orang tersebut mati dimakan harimau maka pelaku dikenakan hukuman penjara seumur hidup (sampai ia mati dipenjara).
b. Hukuman Pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan) berdasarkan surat Al-Maidah ayat 33:
اِنَّمَا جَزَاؤُالَّذِيْنَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَونَ فِى الْآرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوْا أوْيُصَلّبُوا أَوْتُقَطّعَ أيْدِيْهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلفٍ أَوْيُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ … (المائدة:33)
Artinya : Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau ipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal-balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). (QS. Al-Maidah : 33).
Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namun dalam praktinya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman ta’zir. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut, Diantaranya jarimah ta’zir yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku waria, yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya keluar dari madinah.
3. Hukuman Ta’zir Yang Berkaitan Dengan Harta
a. Status Hukumnya
Para ulama berpendapat tentang dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta. Pendapat ini di bolehkan apabila dipandang membawa maslahat. Pengambilan harta ini bukan semata untuk diri hakim atau untuk kas umum (Negara), melainkan hanya menahannya untuk sementara waktu. Adapun apabila pelaku tidak bisa di harapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasarufkan harta tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat.
b. Macam-Macamnya
Imam Ibn Taimiyah membagi hukuman ta’zir berupa harta ini kepada tiga bagian, dengan memperhatikan atsar (pengaruhya) terhadap harta, yaitu:
1) Menghancurkannya (Al-Itlaafu)
2) Mengubahnya (At-Tauyiiru)
3) Memilikinya (At-Tamliiku)
Penghancuran terhadap barang sebagai hukuman ta’zir berlaku dalam barang-barang dan perbuatan/sifat yang mungkar. Contohnya seperti:
a. Penghancuran patung milik orang islam.
b. Penghancuran alat-alat musik/permainan yang mengandung kemaksiatan.
c. Penghancuran alat dan tempat minum khamr.
d. Khalifah umar pernah menumpahkan susu yang bercampur dengan air untuk dijual, karena apabila susu dicampur dengan air maka sulit mengetahui kadar susu dari airnya.
Wujud dari pemilikan harta itu adalah denda atau Gharamah. Hukuman denda juga merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri dan dapat pula digabungkan dengan hukum pokok lainnya. Seperti, penjatuhan hukuman denda terhadap orang yang duduk-duduk dibar tempat minuman keras, atau denda terhadap orang yang mencuri buah-buahan dari pohonnya.
Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili perkara jarimah ta’zir, karena hakim diberi kebebasan yang penuh dalam dalam masalah ini.
Selain denda, hukuman ta’zir yang berupa harta adalah penyitaan atau perampasan harta. Namun hukuman ini diperselisihkan oleh para fuqaha. Jumhur ulama’ membolehkannya apabila persyaratan untuk mendapat jaminan atas harta tidak dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1) Harta diperoleh dengan cara yang halal
2) Harta itu digunakan sesuai dengan fungsinya.
3) Penggunaan harta itu tidak menggangu hak orang lain.
Apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi, misalnya harta didapat dengan jalan yang tidak halal, atau tidak digunakan sesuai dengan fungsinya makna dalam keadaan demikian ulil amri berhak untuk menerapkan hukum ta’zir berupa penyitaan atau perampasan sebagai sanksi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
4. Hukuman-Hukuman Ta’zir yang Lain
Disamping hukuman-hukuman yang telah disebutkan, terdapat hukuman-hukuman ta’zir yang lain. Hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai berikut:
a. Peringatan Keras
Peringatan keras dapat dilakukan diluar sidang pengadilan dengan mengutus seorang kepercayaan hakim yang menyampaikannya kepada pelaku. Isi peringatan itu misalnya “Telah sampai kepadaku bahwa kamu melakukan kejahatan… Oleh karena itu jagan kau lakukan lagi hal itu”.
Peringatan keras ini dianggap sebagai hukuman yang lebih rinngan dibandingkan jika pelaku dipanggil ke hadapan sidang pengadilan. Hal itu dilakukan karena hakim memandang bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak terlalu berbahaya
b. Dihadirkan Di Hadapan Sidang
Apabila pelaku membandel atau perbuatannya cukup membahayakan maka pelaku dapat dipanggil ke hadapan sidang untuk diberi peringatan keras. Pemanggilan pelaku kedepan sidang pengadilan ditambah dengan peringatan keras yang disampaikan secara langsung oleh hakim, bagi orang tertentu sudah takut dan gemetar dalam menghadapi meja hijau.
c. Hukuman Nasihat
Hukuman nasihat ini, seperti halnya hukuman peringatan dan dihadirkan didepan sidang pengadilan, merupakan hukuman yang diterapkan untuk pelaku-pelaku pemula yang melakukan tindak pidana, bukan karena kebiasaan melainkan karena lalaian.
d. Celaan (Taubikh)
Hukuman celaan ini bisa dilakukan oleh hakim dengan berbagai cara dan berbagai perkataan yang dikehendakinya yang diperkirakan dapat mencegah pelaku dari perbuatan pidana yang pernah dilakukannya.
Imam Al-mawardi mengemukakan bahwa taubikh (celaan) ini bisa dilakukan oleh hakim dengan cara memalingkan muka dari hadapan terdakwa yang menunjukkan ketidak senangannya, atau memandangnya dengan muka yang masam dan senyuman yang sinis.
e. Pengucilan
Pengucilan adalah melarang pelaku untuk berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya melarang masyarakat untuk berhubungan dengan pelaku. Hukuman ta’zir berupa pengucilan ini diberlakukan apabila membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu. Dalam sistem masyarakat yang terbuka hukuman ini sulit sekali untuk dilaksanakan, sebab masing-masing anggota masyarakatnya tidak acuh terhadap anggota masyarakat lainnya.
f. Pemecatan (Al-Azl)
Pengertian pemecatan adalah melarang seseorang dari pekerjaannya dan memberhentikannya dari tugas atau jabatan yang dipegangnya sebagai akibat pemberhentian dari pekerjaan itu.
Hukuman ta’zir berupa pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan ini diterapkan terhadap setiap pegawai yang melakukan jarimah , baik yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya maupun dengan hal-hal lainnya. Misalnya, pegawai yang menerima suap, melakukan korupsi, mengangkat pegawai yang tidak memenuhi persyaratan karena ikatan keluarga (nepotisme).
g. Pengumuman kesalahan secara terbuka (At- Tasyhir)
Tujuan diadakannya hukuman tasyhir (pengumuman kejahatan) adalah agar orang yang bersangkutan (pelaku) menjadi jera, dan agar orang lain tidak melakukan perbuatan serupa. Jadi, sanksi ini memiliki daya represif dan preventif. Jarimah-jarimah yang bisa dikenakan hukuman (tasyhir) antara lain seperti: Saksi palsu, Pencurian, Kerusakan akhlak, menjual barang-barang yang diharamkan, seperti bangkai dan babi.
Penerapan sanksi tasyhir ini tidak dimaksudkan untuk menyebarluaskan kejahatan dan kejelekan seorang, melainkan untuk mengobati mentalnya supaya dimasa yang akan datang, ia berubah menjadi orang baik, tidak mengulangi perbutannya, dan tidak pula melakukan kejahatan yang baru.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir secara bahasa adalah memberi pengajaran. Sedangkan pengertian jarimah ta’zir adalah tindakan yang berupa edukatif (pengajaran) terhadap pelaku perbuatan dosa yang tindkannya tidak ada sanksi had dan kifaratnya. Atau dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh hakim, terhadap pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syari’at.
Mengenai macam-macam hukuman yang ada pada jarimah ta’zir adalah mulai dari memberi nasehat, peringatan, hukuman cambuk, penjara, dan lain-lain, bahkan sampai hukuman mati, jika jarimah uang dilakukan benar-benar sangat membahayakan, baik yang diraskan oleh dirinya maupun masyarakat oleh karena itu hakim boleh memilih hukuman mulai yang paling ringan smapai yang paling berat. Pemberian berat hukuman tersebut tentunya disesuaikan dengan jenis perbuata atau tindak pidana yang dilakukan baik mengenai kriteria maupun factor-faktor penyebabnya.
B. Saran
Demikian makalah ini yang dapat kami susun, apabila terdapat kesalahan baik berupa sistematika penulisan maupun isi makalah, kami mengharapkan kritik dan saran sebagai pembangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan penulis khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Imam. Pengantar Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh. Pamekasan: 2014.
Irfan, Nurul. korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: AMZAH, 2011.
Irfan, Nurul, Muhammad. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fikih Jinayah. Badan Litbang dan diklat Departemen Agama RI, 2009.
Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Muslich, Wardi, Achmad. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
[1] Imam hanafi, Pengantar Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh, (Pamekasan: 2014) hlm, 103.
[2] Dr. H. M. Nurul Irfan, korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2011) Hlm.127-129.
[3] Dr. Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia dalam Perspektif Fikih Jinayah, (Badan Litbang dan diklat Departemen Agama RI, 2009) Hlm. 153-155
[4] Drs. H. Rahmat hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hlm. 142-146
[5] Drs. H. Achmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) Hlm. 258-273.
Tag : Makalah-mahasiswa
sangat membantu..trimkash
ReplyDelete